Thumbnail
  • 17 October 2024
  • Admin
Arryman Fellow and Scholar

Perbandingan Pengalaman Orientasi Kampus di SOAS University of London dan di Indonesia

Orientasi kampus adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh mahasiswa baru karena merupakan kesempatan terbaik untuk mengenali kultur kampus, menambah teman baru ataupun mencari aktivitas/organisasi kampus. Harapannya, dengan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kampus, mahasiswa baru dapat secara independen mengeksplorasi berbagai fasilitas dan network yang disediakan oleh kampus untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki selama masa perkuliahan. Perasaan euphoria tersebut saya rasakan ketika pertama kali mengikuti orientasi kampus di UI pada saat saya menjadi mahasiswa baru tahun 2011, dan tahun 2024 ketika saya pertama kali mengikuti orientasi di SOAS untuk program MSc economics. Terdapat persamaan dari kedua pengalaman, yaitu keadaan dimana saya harus merantau di tempat yang sama sekali baru dan jauh dari keluarga. Pengalaman merantau pertama kali ke Depok tersebut mendorong saya untuk dapat menjadi pribadi yang cepat beradaptasi dan memiliki tingkat resiliensi yang lebih baik. Pengalaman tersebut coba saya aplikasikan dengan mencoba membangun support system yang baru untuk menghadapi berbagai kondisi dan tantangan yang lebih dinamis baik yang berhubungan dengan akademis maupun non-akademik di London ini. Salah satu caranya adalah dengan mengikuti kegiatan orientasi di SOAS pada pekan keempat September. Namun, setelah mengikuti, terdapat perbedaan pendekatan pelaksanaan orientasi mahasiswa di kampus-kampus di Indonesia dan kampus di Inggris.

 

Flashback ke pengalamanan 13 tahun yang lalu, beberapa hal yang saya ingat ketika mengikuti orientasi fakultas di UI dulu adalah adanya tugas-tugas yang harus kami (mahasiswa baru) siapkan pada saat pra kegiatan orientasi. Misalnya membuat name-tag, sampul buku, tas dengan karung goni atau aksesoris lainnya, tak lupa dengan embel-embel anyaman berbentuk makara UI, menggunakan kertas asturo berwarna kuning dan abu (warna khas makara fakultas ekonomi). Sudah terdapat juknis yang rigid mengenai ukuran, warna, dan bentuk dari berbagai aksesoris yang perlu kami siapkan secara seksama dari panitia. Saya dan teman-teman sekelompok yang terdiri atas sekitar 16 orang mulai menyelesaikan tugas-tugas tersebut bersama-sama sejak sekitar H-7 pelaksanaan orientasi fakultas, kurang lebih bersamaan dengan kegiatan orientasi universitas. Tak jarang, kami melakukan kerja sampai pukul 9-10 malam. Pada saat kegiatan orientasi dimulai, terdapat kurang lebih terdapat 640 mahasiswa baru dari berbagai program studi sarjana yang mengikuti rangkaian kegiatan orientasi yang dilaksanakan selama kurang lebih 4 hari dari pukul 6 pagi sampai 5 sore. Sudah terdapat jadwal yang rigid untuk kegiatan orientasi yang telah disiapkan oleh panitia. Banyak workshop dan seminar yang telah disiapkan secara matang dalam kegiatan orientasi, baik yang bersifat akademis maupun non-akademis dengan pembicara-pembicara yang sangat menginspirasi.

 

Hal yang unik dari kegiatan ospek di Indonesia adalah keberadaan komdis (komisi disiplin), yang biasanya bertugas memastikan ketertiban kegiatan sambil sesekali meneriaki mahasiswa baru untuk bergegas bergerak secara tertib dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada awal pengalaman menjadi mahasiswa baru, saya masih merasa tidak ada hal yang salah dengan keberadaan komdis tersebut. Salah satu alasannya mungkin karena saya sudah terekspos dengan budaya ‘senioritas’ ospek ketika masa SMP dan SMA dulu. Namun, seiring bertambahnya pengalaman berorganisasi dan berinteraksi dengan teman-teman, baik senior ataupun junior di kampus FEB, yang sangat egaliter di luar kegiatan orientasi telah mengubah pandangan saya mengenai kegiatan orientasi. Saya merasa bahwa kegiatan orientasi yang menggunakan metode perpeloncoan secara tidak langsung adalah bentuk normalisasi ketimpangan relasi kuasa. Hal tersebut dimulai dengan menormalkan bahwa seseorang dapat semena-mena karena dia/mereka senior, terlepas jika dia salah atau benar. Jika praktik tersebut dinormalisasi sedari dini, maka tidak heran masih banyak berbagai kasus  kesemena-menaan dari orang yang dianggap memiliki kekuasaan yang lebih tinggi kepada orang dengan kekuasaan lebih rendah. Saya pernah menjadi komdis pada kegiatan orientasi, pengalaman tersebut merupakan salah satu pengalaman yang paling tidak membuat nyaman. Alasannya karena saya merasa bahwa mahasiswa baru yang mengikuti orientasi tersebut adalah manusia dewasa, yang sudah sangat mampu untuk dapat berpartisipasi di dalam kegiatan tanpa harus diteriaki terlebih dahulu.

 



Namun kegiatan orientasi di SOAS cukup kontras dengan pengalaman pengenalan kampus di UI pada tingkatan fakultas yang saya alami tahun 2011 lalu. Mahasiswa undergraduate dan postgraduate dapat mengikuti berbagai orientasi yang berbentuk workshop yang disediakan oleh kampus sesuai dengan pilihan, kebutuhan, dan jadwal yang diinginkan mahasiswa. Beberapa workshop yang saya ikuti diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Academic Induction di Department Economics, (2) Consent and Active Bystander Training, (3) Study Skills: Tackle your Reading list, (4) Study Skills: Preparing for your first lecture, serta beberapa kelas lainnya. Tidak ada tugas khusus yang diberikan oleh senior kepada junior. Untuk memudahkan mahasiswa baru mengeksplor ruang-ruang kampus, pihak administrasi kampus telah menyediakan volunteer, yang merupakan mahasiswa yang lebih senior di berbagai area di kampus dan juga menyediakan tour kampus. Jadi salah satu hal yang sangat menonjol dari kegiatan orientasi di SOAS adalah pihak kampus yang memfasilitasi fleksibilitas dan independensi bagi mahasiswa untuk memilih kegiatan induction (workshop/seminar) yang dirasa paling relevan. Terlebih, instruktur yang berada di kelas-kelas, merupakan bagian dari staff SOAS profesional yang memberikan pelayanan spesifik bagi mahasiswa mulai dari Learning and Teaching Enhancement, Career Support, Student Mental Health and Well-being Center dan service lainnya.

 



Setelah membandingkan kedua kegiatan orientasi siswa di UI dan SOAS tersebut, terdapat ciri khas yang sangat menonjol. Pertama adalah terkait fleksibilitas dan independensi yang dimiliki oleh mahasiswa dalam menentukan bagian kegiatan ingin diikuti. Hal itu sangat dimungkinkan untuk kampus di negara maju, hal tersebut berkaitan dengan tingkat sumber daya finansial yang lebih besar yang memungkinkan kampus memiliki keorganisasian yang menjalankan fungsi khusus. Contohnya dalam kasus SOAS adalah tersedianya fungsi spesifik organisasi kampus yang profesional, Learning and Teaching Enhancement yang menyediakan workshop, kegiatan, atau pelayanan untuk menunjang dukungan bagi mahasiswa. Sedangkan untuk kampus-kampus di Indonesia, tak jarang dosen memiliki beban kerja yang cukup berat, tidak hanya mengajar, meneliti, mengerjakan tugas administrasi, mengerjakan pekerjaan sampingan untuk menambah pendapatan, serta ikut dalam mengerjakan tugas tambahan yang diberikan kampus. Selain itu, meskipun sudah ada kampus yang memiliki fungsi khusus, namun terkadang masih dalam skala yang kecil sehingga tidak dapat memberikan pelayanan pada jumlah mahasiswa yang lebih besar. Masalah terbatasnya sumber daya dapat sedikit menjelaskan mengapa kegiatan orientasi di Indonesia cenderung lebih rigid.

 



Walaupun dengan segala keterbatasan sumber dayanya, orientasi di Universitas Indonesia mampu untuk tetap mempertahankan nilai gotong royong dan kekompakan yang berguna bagi pengembangan softskill. Misalnya adalah melalui kegiatan mengerjakan tugas kelompok orientasi, yang sebenarnya penting bagi mengembangkan kemampuan bekerja sama, organisasi, dan komunikasi. Namun, berkaca dari pengalaman, interaksi antara mahasiswa baru di Indonesia dengan dosen cenderung lebih tersekat oleh tembok kultural relasi-kuasa yang negatif. Beberapa contoh diantaranya adalah pada beberapa kasus yang mencuat di media sosial di Indonesia masih terdapat dosen yang tidak mau menerima perbedaan pendapat (perdebatan) dengan mahasiswa, ingin dihormati secara berlebihan, atau sangat sulit untuk ditemui untuk diskusi lebih lanjut dengan mahasiswa. Namun, hal yang patut saya syukuri adalah sejak saya berkuliah di UI, dalam kehidupan perkuliahan sehari-hari dosen-dosen sangat egaliter dan memfasilitasi untuk terdapat adanya perbedaan pendapat. Dosen-dosen muda, yang baru pulang sekolah dan hampir satu generasi dengan saya sudah dengan serius mendesain kegiatan perkuliahan yang mendorong keegaliteran dengan menciptakan interaksi antar sesama mahasiswa ataupun antara mahasiswa dan dosen. Perubahan kebiasaan tidak terjadi dalam waktu yang singkat, namun menurut saya memahami kesalahan yang perlu diperbaiki dan melakukan sebuah tindakan untuk menjadi lebih baik adalah sebuah progress yang luar biasa.